11.25.2010

Kisah Uwais al-Qorni, Jika Dia Bersumpah 'Demi Allah' Pasti Terkabul

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis.

pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”.

Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya. Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata :

“Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.

Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing.


Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.

Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya.

Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung.

Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.

Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya.

Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi.

Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.

Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata :

“Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”.

Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman.

Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.

Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah.

Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun.

Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah SAW bersabda :

“Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.”

Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda :

“Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama.

Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.

Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais.

Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan :

“Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?”

Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka.

Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah:

“Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”.

Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya.

Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata :

“Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi."

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang.

Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air.

Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.

“Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,”

Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata:

“Apa yang terjadi ?”

“Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami.

“Dekatkanlah diri kalian pada Allah !” katanya.

“Kami telah melakukannya.”

“Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!”

Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,

”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”.

“Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ?” Tanya kami.

“Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat.

Kemudian kami berkata lagi kepadanya,

”Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.”

“Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.

“Ya,” jawab kami.

Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai.

Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya.

(Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.) Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.

Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang.

Mereka saling bertanya-tanya :

“Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal."

Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.


Sumber :


Read more: http://tahukah-engkau.blogspot.com/2010/04/kisah-uwais-al-qorni-jika-dia-bersumpah.html#ixzz16JVL3022

10.08.2010

I want to be together, forever

when this bud grows
like a body taking root

Each breath taken is a word

Imaginings, sounds, emotions mingle together
Weaving one robe around us

Our hands join
Our lips form in unison
Every word we say is the command of the high priestess

the rest is sand
the rest is dust
only the sand blows then swirls and disappears

But we still dance
A dance that only we know

Our souls are like a palanquin
So just take a seat
And we will take all

Because
we are one

temen2 yang ngk ngerti tenang,,ada versi indonesianya:

ketika tunas ini tumbuh
serupa tubuh yang mengakar

setiap nafas yang terhembus adalah kata

Angan, debur, dan emosi
bersatu dalam jubah bertautan

tangan kita terikat
lidah kita menyatu
maka setiap kata yang terucap adalah sabda pendita ratu

diluar itu pasir
diluar itu debu
hanya angin meniup saja lalu terbang dan hilang entah kemana

tapi kita tetep menari
menari cuma kita
diluar itu tandu
maka duduk saja
maka kita akan bawa, semua

karena
kita adalah satu

aku membaca, aku menulis, dan aku pintar

membaca, satu kata ini yang mengingatkan pada wahyu pertama bagi umat muslim. pada saat itu Malaikat Jibril datang kepada Muhammad, dia memberikan wahyu yg pertama. Pernahkah kawan2 berfikir, kenapa harus wahyu pertama itu Iqra yang berarti membaca?? Membayangkan hal satu ini saja membuat bulu kuduk ku berdiri,kawan.

Membaca, membaca dan membaca

terus terang saja kawan, sampai sekarang jikalau saya harus menjawab pertanyaan itu, sampai sekarang saya belum bisa menjawabnya. membaca tidak perlu harus membayar layaknya kawan pipis disalah satu WC umum, betapa murahnya ya kawan. membaca tidak membutuhkan persyaratan bagi orang yg membacanya, layaknya menjadi PNS, sangat mudahkan kawan. membaca akan memperkaya pengetahuan kawan-kawan, Nabi Muhammad pernah berkata " jika kamu mengingnkan dunia maka bacalah, jika kamu menginginkan akhirat maka bacalah, jika kamu menginginkan keduanya maka bacalah". Salah seorang Sahabat ku pernah berkata, dia melanjutkan kuliahnya di Universitas Indonesia untuk mengambil jurusan sastra arab, dia pernah berkata kepada ku "bacalah dan jangan pernah memilih-milih apa yang kamu baca entah itu hitam or putih, karena pada dasarnya tidak ada satupun ilmu hitam or putih, karena ilmu itu berasal dari Sang Maha Pencipta, hanya saja manusianya itu yang salah mempergunakannya , baca saja apa yang kamu ingin baca, dan jangan berhenti". dan dia melanjutkan "dengan membaca kita akan mendapatkan pertanyaan yang menarik untuk kita, lalu dengan membaca lagi kita mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu, dari jawaban kita akan mendapatkan pertannyaan dan dari pertannyaan kita akan mendapatkan jawaban, dan begitulah seterusnya" oleh karena itu jangan pernah berhenti tuk membaca.

Membaca, membaca dan membaca

saya tak perlu memberi contoh yang mengada-ada. kawan-kawan sudah banyak melihat, mendengar dan membaca berita-berita tentang seseorang yang bersekolah tanpa biaya, satu hal yang dia lakukan, membaca kawan. dan masih banyak lagi kisah-kisah yang menakjubkan, hanya karena membaca.

So, let's read, friend!

***
tahu kah kawan, dosen-dosen ataupun guru-guru yang kawan banggakan itu, dahulunya adalah seorang pembaca yang setia. tapi ada satu ungkapan menarik, seorang yang pintar itu tidak bisa dianggap pintar tanpa menghasilkan karya, yaitu tulisan. tulisan yang dimaksudkan disini bukanlah tulisan biasa sepertihalnya catatan tugas kawan-kawan dan lainnya.

kita flash back lagi yuk, ketika kawan-kawan baru masuk Sekolah Dasar, hal yang pertama diajarkan dua hal: membaca dan menulis. walaupun yang menurut kita saat ini, saat itu kita menulis hal yang sepele, yaitu ABCDE sampai urutan terakhir Z. tapi kita bangga saat itu bahwa kita bisa menulis.

Tanpa tulisan tidak mungkin ada bacaan, tanpa bacaan mungkin hari esok tak ada kawan.

aku membaca, aku menulis dan aku pintar

9.26.2010

SHEILA "kenangan yang hilang"

setelah membaca buku pertama hasil karya Torey Hayden (seorang wanita yg bernama lengkap Victoria Lynn Hayden yg meraih gelar Bachelor of Arts dibidang kimia fisika - namun lebih tertarik bekerja menangani anak2 yg memiliki kebutuhan khusus), buku pertama yang berjudul Luka Hati Seorang Gadis Kecil. buku pertama ini lah yg telah menguras air mata dari beribu-ribu pasang mata pembacanya. buku ini bercerita tentang seorang gadis kecil yg mempunyai kemampuan diatas batas normal IQ anak2 yg seumuran dengannya, gadis kecil yg mempunyai paras yg cantik tp bernasib tidak secantik parasnya. dia harus ditinggal oleh ibunya disaat umurnya sangat lah kecil, dipukul oleh ayahnya, dan itu masih blm seberapa kawan. percayalah dibuku ini diceritakan penderitaan yg harus dialami oleh gadis kecil ini lebih kejam dr apa yg disebutkan tadi. Tapi satu hal yang membuat kagum, gadis kecil ini tidak pernah menangis, Sheila pernah berkata "menangis hanya membuat ku menjadi terlihat lemah", sungguh perkataan yg sungguh amat bermakna dan jarang sekali anak kecil bisa berkata2 seperti itu, kata2 itu bermakna bahwa tak ada satu pun orang yg bisa membuat ku menjadi terlihat lemah, aku memang anak kecil tapi aku tidak lah lemah. dan yang lebih membuat kagum lagi, buku yang ditulis oleh Torey Hayden ini bukanlah novel biasa,,tp KISAH NYATA yg dijadikan novel.


YUK kita kembali ke Judul Awal kita, Sheila 'kenangan yang hilang'. pada awalnya saya sangat merasa kecewa, karena pada di bab-bab awal buku yang kedua ini tidak lah sebagus yg disajikan pada buku yang pertama, itu hanya menurut saya saja loh. tapi saya jadi teringat perkataan Amin Rais (mantan ketua MPR Negeri Indonesia) "nikmatnya membaca buku adalah saat kita menyelesaikan seluruh bacaannya".
ternyata benar juga perkataan beliau, setelah membaca seluruh buku yang kedua ini ternyata sama2 menarik. seperti ngk sah aja, baca buku yang pertama tapi ngk baca buku keduanya. ada beberapa surat menarik dalam buku ini:

ibu tersayang,
Aku ingin tinggal bersamamu. Aku sudah muak tinggal bersama ayah. Bukan karena telah terjadi sesuatu yang buruk, karena telah lama sekali tidak terjadi sesuatu yang buruk, tetapi aku sudah bosan sekali dengan tingkahnya. Aku bosan khawatir akan dirinya, khawatir dia mabuk, khawatir soal barang itu, khawatir dengan apa yang akan menimpa keuangan kami, khawatir dia akan mendapat kesulitan lagi, dan khawatir tentang apa yang akan terjadi padaku, jika itu terjadi. Aku ingin bersamamu dan Jimmie. Please, bisakah itu terjadi meski hanya sebentar?
***
Ibu tersayang,
Aku banyak menimbulkan kesulitan waktu itu. Mungkin itulah sebabnya Ibu terpaksa melakukan apa yang harus dilakukan. Kupikir aku bisa memahaminya, sebab mungkin itulah satu-satunya yang bisa kaulakukan. Tapi aku sudah jauh lebih baik sekarang. Inilah pion-poin baikku:
1) Aku bisa memasak.
2) Aku bisa mengerjakan tugas rumah tangga dengan baik sekali.
3) Aku akan mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari sini dan punya penghasilan sendiri.
4) Aku hampir selalu mendapat nilai A di sekolah dan aku akan masuk Daftar Anak Berprestasi (yah, sebenarnya aku masuk dalam Daftar Anak Berprestasi di sekolahku yang lama. Di sini tidak ada sistem pringkat, tapi aku pasti akan masuk kelompok itu, jika aku masuk ke sekolah lain)
5) Aku akan melakukan apa yang kauinginkan sekarang, sebab aku sudah cukup besar untuk tahu apa yang kuinginkan.

Sedih memang, ditinggalkan oleh Ibu dalam usianya sangat kecil, setelah remaja tidak ingat lagi bentuk dan rupa Ibu tersebut, tidak ada foto ataupun dokumen2 yang jelas mengenai Ibu. semua cara telah dilakukan untuk bertemu Beliau tapi hasilnya tetaplah sama NIHIL. setelah cari dan terus mencari sampai titik puncak keputus asa'an, Sheila berkata "yang paling banyak kupikirkan adalah ucapanmu tentang mengikhlaskan semuanya. Menerima, memaafkan, dan kemudian mengikhlaskannya. Kupikir aku bisa menerima. Kupikir aku bahkan bisa memaafkan, tapi aku masih berpikir berkali-kali untuk mengikhlaskannya. Mencoba untuk memahami apa artinya 'ikhlas' dan yang bisa terpikir olehku hanyalah bahwa itu berarti menjalani hidupku ke depan. Mulai lebih memikirkan masa depan daripada masa lalu"

dari kedua buku itu banyak sekali pelajaran-pelajaran yang bermakna. mungkin salah satunya adalah hidup itu tidak lah mudah seperti apa yang kau bayangkan kawan, hidup bukan lah seperti film FTV yang akan berbahagia diakhir cerita. Tapi yakin lah bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian yang tidak bisa diselesaikan kepada hamba-Nya. Yakin lah kawan bahwa Ujian-Nya itu akan membuat kita menjadi makhluk baru yang lebih kuat. Yakin kan pada hati kita bahwa KITA PASTI BISA.

tapi ngk enak juga loh klo hidup bahagia terussss sampe mati, malah jadi hambar aja tuh hidup atau menderita terusss sampe mati (kasihan bgt sih tuh org).

penulis blogger ini hanya bisa bilang kepada pembaca, sayangilah orangtua mu kawan selagi mereka masih ada. ^_^

seaindainya penulis diizinkan memberikan sedikit puisi untuk kawan2 yg senasib dengan sheila,

Sedih dan Aku

Hitamnya langit
tak se-hitam masa depan ku
Gelapnya malam
tak se-gelap hati ku

Sedih
yang kuratapi
yang ku sendiri tak tahu dimana ujungnya

Aku tidak butuh matahari saat malam
yang ku butuhkan lentera disaat gelap
Aku tidak peduli dengan emas di padang pasir
yang ku peduli hanya kamu IBU

5.02.2010

Nasehat Imam Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya....pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab "orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI". Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.... "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".
Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga.... "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya menjawah "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" (Al A'Raf 179).
Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".
Ada yang menjawab "besi dan gajah".
Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH" (Al Ahzab 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?"...
Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Dan pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang".
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

4.12.2010

Indigenous Peace-Making VS Liberal Peace

Cooperation and conflict

Indigenous Peace-Making Versus the Liberal Peace

ROGER MAC GINTY

Critical review,by: Hasbi Asyidiqi

The Rediscovery of the Indigenous and Traditional

After Cold War, there has progressed about the ideas of traditional and indigenous peace-making and dispute resolution in civil wars, it has made an increasing of credence among states, international organizations, international financial institutions and NGOs. Although the progress has given advantages for all states, the UN General Assembly failed to adopt the Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. It is confused, whereas so many international organizations such an International Labour Organization and Oxfam International’s Strategic Plan which have researched and concerned to the indigenous rights, the UN still failed to make a declaration fro indigenous rights.

In relation between indigenous peoples and international actors to civil war and dispute resolution, there has been greater interest in the actual peace-making techniques and practices on offer from indigenous group. Indeed, many international actors who have shown interest in these techniques could be described as bastions of the liberal peace. It means the indigenous peoples is only as tool, they are used by international actors as an object for researching.

The draft UN Declaration on the Rights of indigenous Peoples noted that such peoples should have access to mutually acceptable and fair procedures for the resolution of conflicts and disputes which would take into consideration the customs, traditions, rules and legal systems of the indigenous peoples concerned (UNHCR,1994: Article 39). What the UN declared, it is so contrary with expert argued:

In the late 1980s the communist world collapsed, and the Cold War international system become history. In teh post-Cold War world, the most important distinctions among peoples are not ideological, political, or economic. They are cultural. Peoples and nations are attempting to answer the most basic question humans can face: who are we? And they are answering that question in the traditional way human beings have answered it, by reference to the things that mean most to them. People define themselves in term of ancestry, religion, language, history, values, customs and institutions. They indentify with cultural groups: tribes, ethnic groups, religous communities, nations, and, at the broadest level, civilizations. People use politics not just to advance their interests but also to define their identity.[1]

What the expert means people who indentify themselves as cultural group, they have own interest, and different cultural will have different interest also. So, it cannot be mutually acceptable, because they have own interest.

A number of conflict resolution authors and practitioners have also high-lighted the importance of culture in dispute resolution. Alternative Dispute Resolution (ADR) which respects many of the qualities found in indigenous and traditional approaches emphasized that win-win outcomes were possible, that ongoing relationship were more useful than one-off victories, and that third parties could play useful roles as invited facilitators rather than unilateral interveners. These approaches placed an emphasis on dialogue, social justice and conflict transformation (rather than resolution).

In its broadest sense, participation did not merely extend to local involvement in the implementation of development or peace projects that were conceived, funded and managed elsewhere. Instead, local participation was to occur at all levels of a development or peace project. The implications of local involvement were thus profound: not only could it guide how development was to be promoted (or peace secured), it had the potential to guide how development (and peace) could be defined. Ideas of participation have been the focus of much criticism, that they merely co-opt local elites into Western schemes or that the tyranny of participation steers communities towards technocratic and over-simplistic solution to complex social problems.

The liberal peace

Enormous academic energy has been devoted to testing the existance and significance of liberal peace, or the assertion that democracies do not go to war with one another. Instead, the liberal peace to be the concept, condition and practice whereby leading states, international organizations and international financial institutions promotes their version of peace through peace-support interventions, control of international financial architecture, support for state soverignty and the international status quo.

The key proponents of the liberal peace are leading states, international organizations and international financial institutions, natably the United States, UK, Australia, France, Germany, Canada, Norway, the United Nations, the International Monetary Fund and the World Bank.

Libral intervantionism is based on the belief that one model of domestic governance – liberal market democracy, it is superior to all others, while Ignatieff refers to its as an imperial ideology. Highly specialized forms of liberalism and democracy are championed: an open market liberalism that gives priority to the individual (rather than the kind group) and electoral democracy with notions of an appropriate civil society.

The liberal peace is also generically neo-liberal in its promotion of marketization, austerity programmes and the notion that the market will provide the motive force for peace and reconstruction.

Evidence of the apparently monopolising character and ambition of the liberal peace
is bountiful. The frequency with which the same actors and institutions are involved
in liberal peace interventions is revealing.[2]

Promoters of the liberal peace are able to mobilise a formidable suite of compliance
mechanisms to encourage conformity and to discipline attempts at deviance. The
obvious compliance tool is force or the threat of force.
But other compliance mechanisms abound, most notably the globalised free market that at once offers
opportunities but also considerable constrains.[3]

So, instead the liberal peace will membuat semacam perdamaian dengan cara institutional dan memberikan prosperity for all people, the institutionals also has their own interest such a monopolization.

Traditional and Indigenous Peace-Making

Social Anthropological Literature on War and Peace-Making in Traditional Societies

There are three factors that have encouraged studies of conflict resolution and the social anthropology of war and peace-making to pursue separete paths.

First, the influence of political science and international relations on the study of conflict resolution means that many of its principal referents derive from Western statist and institutionalist perspectives. Second (and related to the last point), both sub-disciplines often adopt different levels of analysis. While both adopt case study approaches, the cases in social anthropology are often highly specific micro-societies, usually units smaller than the object of study in conflict resolution (with the exception of examinations of personality and political leadership).

There are four themes which emerge from a review of literature on the social anthropology of war and peace-making in traditional societies:

1. The rituals of warfare and peace-making, has largely been absent from the conflict resoution literature.

2. Governance processes and structures. This theme describes the locus of power, leadership and decision-making styles and succession processes.

3. Cross-cultural communication. This is particularly relevant to traditional societies encountering ousiders.

4. The emphasis on exchange and compensation as part peace-making. In many traditional societies, the core of peace-making is the restoration of balance in order to ensure the sustainability of the society.

Conceptualizing Traditional and Indigenous Peace-Making

There are four points of clarification may help with the conceptualization of traditional and indigenous peace-making. First, despite the common conflation of the terms traditional and indigenous, the two are not interchangeable. A second conceptual point is that it should not be assumed that traditional or indigenous peace-making can be blithely equated with good or a higher normative value. A third conceptual point is that the notions of the traditional or indigenous can be hastily invented or cynically manipulated by actors in a peace-making process who attempt to benefit from the supposed higher moral value to be gained by labelling a practice or attitude as traditional. The fourth guiding point for the conceptualization of traditional peace-making is to caution against regarding traditional and Western peace-making as discrete conceptual categories. It would be appealing to conceive of distinct categories of peace-making with neathly contradictory qualities and sharply delineated boundaries.

A synthesis of Indigenous and Traditional Peace-Making with Western Peace-Making?

There is considered if there are serious prospects for a syntesis between Western and traditional or indigenous version of peace. In the contemporary era, despite the dominance of Western notions of peace, there are areas in which traditional and indigenous approaches to peace-making can flourish.

A contact between different cultures provide insights into processes of accomodation between conflicting versions of peace and peace-making. Not only did the institutions and practices of peace-making drew on indigenous and traditional sources, but the preferred notions of peace ( priority being given to reciprocatin and sustainable relationship) also reflected local cultural mores. Many indigenous groups used marriege as a key element in peace-making. This ratification of peace by matrimony amounted to reciprocal hostage-taking between formerly warring groups, if successful, it created enduring bonds between groups and ilustrated that future conflict would have mutual costs.

In the colonial era, the colonial power was established there were subjects, stripped of sovereignty and not regarded as legitimate opponents with whom to make peace. Although on the contemporary post-Cold War era, the conditions have encountered between indigenous and traditional forms of peace-making and dispute resolution, on the one hand, and dominant Western practices, on the other.

Conclution

1. Liberal peace is good. But the Liberal peace has gap, because the Liberal peace emphasizes on the intitutions and organizations. They also have their own interests such a monopolizing and intervantion.



[1] Huntington P. Samuel. The clash of civilizations and the remaking of world order. Page 21

[2] Dr Roger Mac Ginty,Professor Andrew Williams. Paper prepared for the International Studies Association conference.

[3] Ibid.