7.13.2012

Utang Luar Negeri dan Penjajahan Gaya Baru

Kolonialisme Gaya Baru dibawah Kepemimpinan Amerika Serikat

Melalui pola pengambilan keputusan yang berlaku di IMF (International Monatery Fund) dan Bank Dunia, maka sebenarnya kedua lembaga ini tidak lebih dari lembaga keuangan yang memberi keuntungan pada Amerika Serikat melalui pemberian pinjaman, serta dominasi peran bankir swasta dan investor internasional dengan cara memastikan negara pengutang (termasuk Indonesia tentunya) menjalankan agenda ekonomi neo-liberal. Dengan demikian bisa dikatakan juga bahwa selama ini transaksi utang luar negeri pemerintah Indonesia selalu dibawah kendali Bank Dunia dan IMF. Bahkan kebijakan kedua lembaga ini turut menentukan kebijakan transaksi utang luar negeri pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain (utang bilateral.
Keberadaan Bank Dunia dan IMF yang ditopang oleh negara-negara industri kaya lainnya ini bisa juga dikategorikan sebagai sebuah upaya sistematis menghadirkan pola baru kolonialisme oleh pusat-pusat kapitalisme dunia di bawah kepemimpinan Amerika Serikat. Hal ini bisa terlihat dari tujuan pendirian dan sistem pengambilan keputusan yang berlaku didalam kedua lembaga ini.
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang secara populer dikenal sebagai Bank Dunia dan IMF dibentuk melalui Konferensi Bretton Wood pada 22 Juli 1944 di New Hempshire (Amerika Serikat). Pembentukan menyalurkan utang luar negeri dan tidak terlepas dari konteks kepentingan Amerika Serikat.
Tujuan Utama Bank Dunia menurut anggaran dasarnya adalah membantu pelaksanaan pembangunan di negara-negara anggotanya, yaitu dengan menyediakan fasilitas pembiayaan bagi investasi-investasi yang bersifat produktif. Selain itu, Bank Dunia juga bertujuan mendorong pertumbuhan perdagangan dan investasi secara internasional. Secara khusus, kecuali dalam keadaan tertentu, fasilitas pembiayaan Bank Dunia dibatasi peruntukannya bagi proyek-proyek pembangunan seperti pembangunan bendungan, jalan raya, pembangkit listrik, dan proyek-proyek sejenis lainnya.
Sedangkan tujuan utama IMF menurut anggaran dasarnya adalah mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian pinjaman sebagai bantuan keuangan temporer, guna meringankan penyesuaian neraca pembayaran. Sebuah negara akan meminta dana kepada IMF ketika sedang dilanda krisis ekonomi.
pengambilan keputusan di Bank Dunia maupun IMF berdasarkan pada jumlah saham tiap-tiap negara anggota. Pemilik saham terbesar di kedua lembaga ini adalah Amerika Serikat yang mengantongi hak suara mencapai 17,5 persen. Sementara untuk menyetujui satu keputusan harus disetujui oleh 85 persen pemegang saham. Dengan demikian maka praktis tidak ada satu keputusan pun bisa diambil oleh Bank Dunia dan IMF tanpa persetujuan pemerintah Amerika Serikat sebagai pemegang saham terbesar di kedua lembaga ini.
Selain kepemilikan saham, dominasi Amerika Serikat juga diperkuat dengan ditetapkan dolar AS sebagai alat pembayaran internasional dan dikukuhkannya kedudukan negara itu sebagai pemilik tunggal hak veto di Bank Dunia dan IMF.
Dominasi Amerika Serikat didukung pula oleh fakta selama ini bahwa jabatan presiden Bank Dunia selalu dimonopoli Amerika Serikat. Dengan demikian bisa dipahami bahwa keberadaan lembaga keuangan mulitilateral ini sejak awal memang bertujuan untuk melembagakan proses ekspansi dan hegemoni ekonomi Amerika Serikat ke seluruh penjuru dunia bersama-sama dengan negara-negara industri kaya lainnya.
Hal itu semakin jelas terlihat dari berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan fasilitas pinjaman dari dua lembaga itu. Persyaratan bagi sebuah negara agar bisa memperoleh pinjaman dari IMF dan Bank Dunia selalui dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan berskala besar yang harus diimplementasikan oleh pemerintah. Persyaratan tersebut biasanya meliputi desakan untuk meliberalisasikan sektor perdagangan dan keuangan, kemudian memaksa pemberlakuan anggaran ketat, (termasuk memotong berbagai subsidi dan anggaran sosial dalam anggaran negara), serta menekan agar pemerintah melakukan swastanisasi terhadap badan usaha milik negara (BUMN) melalui program privatisasi.
Dalam jangka panjang umumnya menekankan pada kebijakan-kebijakan: 1) liberalisasi perdagangan yakni mengurangi dan meniadakan kuota impor dan tarif; 2) deregulasi sektor perbankan sebagai program penyesuaian sektor keuangan; 3) privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara; 4) privatisasi lahan pertanian, mendorong agribisnis; dan 5) reformasi pajak: memperkenalkan/meningkatkan pajak tak langsung.
Dengan demikian, jelas bahwa Bank Dunia dan IMF yang ditopang oleh negara-negara industri kaya adalah satu bentuk upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia dalam menghadirkan pola baru kolonialisme di bawah kepemimpinan Amerika Serikat.

Jebakan Jerat Utang Luar Negeri
Utang luar negeri sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia dalam menjalankan kolonialisme bisa terlihat dari jenis utang luar negeri yang mereka salurkan. Selama ini ada dua jenis utang luar negeri yang disalurkan pada pemerintah Indonesia.
Pertama, adalam pinjaman proyek yang diberikan oleh kreditor dalam bentuk barang dan jasa. Pinjaman proyek ini merupakan alat bagi kreditor untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang.
Kedua, adalah pinjaman program yang diberikan dalam bentuk bantuan teknis untuk penyusunan undang-undang dan peraturan pemerintah. Pinjaman program ini bisa juga diterima dalam bentuk uang tunai. Namun pinjaman program sangat berbeda dibanding dengan pinjaman proyek. Pinjaman program bertujuan untuk mengubah undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah untuk memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi kemudahan perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari negara pemberi utang untuk menguasai perekonomian nasional.
Usaha untuk menguasai perekonomian nasional melalui utang luar negeri sudah berlangsung sejak awal sebelum utang itu dicairkan. Selain pemerintah harus memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam perjanjian utang sesuai yang ditentukan oleh pihak pemberi utang  pemerintah juga harus membayar biaya komitmen utang. Setelah pemerintah memenuhi semua persyaratan yang diajukan para kreditor maka barulah komitmen utang luar negeri bisa dicairkan.
Dengan Kondisi ini maka efektivitas penyerapan dan penggunaan dana utang luar negeri oleh pemerintah Indonesia tentu bukan menjadi urusan kreditor. seperti biasa disaksikan dari pembuatan komitmen utang luar negeri yang berlangsung sejak pemerintahan Soekarno, penambahan komitmen utang baru menjadi semakin progresif ketika pemerintahan Soeharto berkuasa. Bahkan pembuatan utang luar negeri seolah tak terhentikan sampai dengan pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono. Saat ini hasilnya adalah utang luar negeri pemerintah semakin menumpuk dan membebani anggaran negara.

referensi :
Kusfiardi, Dilema Indonesia, Visi volume VI No.7, Institute for Policy Studies (IPS), Jakarta: 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar