3.22.2019

Kudeta Putih-Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia

Kudeta Putih-Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia
oleh: Syamsul Hadi, dkk


  1. Krisis Ekonomi, Reformasi, dan “Kudeta Putih”

Ketika rezim Orde Baru dapat diruntuhkan akibat hantaman krisis ekonomi yang disertai tekanan-tekanan politik dari dalam dan luar negeri, gegap gempita jargon perubahan seakan mewarnai langit Indonesia yang mendadak dilanda demam reformasi. Tidak pernah dibayangkan oleh kebanyakan orang bahwa gegap gempita reformasi itu justru menjadi “jembatan emas” bagi penetrasi dan perluasan kepentingan asing dalam ekonomi Indonesia.

Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar dan munculnya berbagai undang-undang serta peraturan pemerintah yang diwarnai semangat liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi dalam banyak hal telah memberikan jalan seluas-luasnya bagi kekuatan-kekuatan asing untuk lebih mendominasi ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 menyatakan pihak asing boleh menguasai 99 persen saham perbankan di Indonesia, yang menjadikan Indonesia sebagai negara paling liberal di sektor perbankan. Akibatnya, pada tahun 2011 kepemilikan asing pada 47 bank menguasai ekuivalen 50,6 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun.

Melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, sektor minyak dan gas (migas) diliberalkan dengan memberikan perlakuan yang sama antara Pertamina sebagai perusahaan milik negara dan pihak swasta, termasuk swasta asing. Di samping itu, melalui undang-undang ini badan usaha (termasuk Pertamina) dilarang melakukan kegaiatan usaha di sektor hulu dan hilir sekaligus. Keanehan undang-undang ini juga terlihat dari keberadaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang diharuskan bersaing dengan perusahaan swasta, termasuk swasta asing, untuk mendapat tender mengelola migas milik negara sendiri. Undang-undang ini melarang Pertamina, artinya negara melarang dirinya sendiri, untuk mengeksplorasi dan sekaligus menjual migas di negaranya sendiri; mengharuskan negara mengelola migas melalui bukan badan usaha, mengharuskan BUMN Pertamina di pecah-pecah alias dikerdilkan oleh negara sendiri, dan seterusnya. Akibatnya, pihak asing bebas menguasai migas. Data Dirjen Migas (2010), Pertamina dan mitra hanya menguasai 16 persen dari produksi migas, sisanya dikuasai asing.

Di bidang penanaman modal asing, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 atau Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM). Di dalam undang-undang ini berlaku asas perlakuan yang sama antara inverstor domestik dan investor asing. Undang-undang yang diarahkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor ini mempunyai sejumlah pasal yang justru meminggirkan kepentingan rakyat Indonesia, seperti hak asing atas kepemilikan tanah yang berjangka sangat panjang serta jaminan kebebasan untuk mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak-pihak yang diinginkannya.

Seperti diberitakan dalam liputan khusus majalah Gatra edisi 30 November 2011, paling tidak 25 persen dari undang-undang yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata bertentangan dengan konstitusi nasional, yakni UUD 1945. Namun, angka 25 persen ini dinilai sangat kecil dan mungkin tidak mencerminkan

jumlah yang sesungguhnya. Belum lagi keputusan presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan seterusnya. Seorang anggota Dewan bahkan membeberkan bahwa setidaknya ada 170 undang-undang sejak era reformasi yang dianggap antikonstitusi. Dengan kata lain sekitar 80 persen undang-undang yang ada pro-asing. Ini mengindikasikan produk perundang-undangan yang dihasilkan dibuat tanpa pertimbangan konstitusi, namun karena kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan bangsa atau rakyat sendiri.

Singkat kata, transisi demokrasi di Indonesia telah melahirkan efek samping yang berbahaya, yakni terbukanya peluang untuk peningkatan dominasi asing dalam ekonomi Indonesia. Peluang yang benar-benar dimanfaatkan dengan optimal, yang membuat rakyat negeri ini terancam kedaulatan ekonominya dan dipaksa menjadi “penonton” di negerinya sendiri. Sudah pasti bahwa International Monetary Fund (IMF) menjadi aktor utama yang memaksakan liberalisasi ekonomi Indonesia, dengan memanfaatkan ketergantungan Indonesia pada bantuan IMF untuk mengatasi krisis dalam perekonomian.

Cikal bakal liberalisasi yang ugal-ugalan di bidang perbankan tersebut, misalnya, dapat ditemukan dalam letter of intent (LoI) antara IMF dan pemerintah Indonesia. LoI tertanggal 10 April 1998, misalnya, menyebutkan, untuk mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah, pemerintah akan mengajukan amandemen Undang-undang Perbankan pada akhir Juni 1998. Dalam rancangan amandemen ini, batas kepemilikan swasta akan dihapus sehingga pihak swasta dapat menguasai secara penuh bank pemerintah. Partner asing akan diminta untuk menarik investor swasta lainnya agar mau berpartisipasi dan jadwal bagi privatisasi ini akan dikonsultasikan dengan IMF dan Bank Dunia.

Di bidang penanaman modal, liberalisasi memang telah berangsur-angsur dilakukan sejak awal masa Orde Baru. Meskipun demikian, liberalisasi investasi yang paling ekstrem justru dilakukan oleh pemerintah-pemerintah di era reformasi. Bila ditelusuri kaitannya dengan IMF, dalam LoI 29 Juli 1998, disebutkan pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan di bidang penanaman modal, liberalisasi memang telah berangsur-angsur dilakukan sejak awal masa Orde Baru. Meskipun demikian, liberalisasi investasi yang paling ekstrem justru dilakukan oleh pemerintah-pemerintah di era reformasi. Bila ditelusuri kaitannya dengan IMF, dalam LoI 29 Juli 1998, disebutkan pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan dan dipermudah. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen akan menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir. Keterlibatan Bank Dunia dalam realisasi UUPM Nomor 25 Tahun 2007 dapat dilacak dalam dokumen program Development Policy Loan (Utang Kebijakan Pembangunan) yang biasa disingkat DPL edisi ketiga tahun 2006. Besarnya nominal pinjaman yang dialokasikan untuk DPL ketiga adalah senilai 400 juta dolar. Dalam dokumen DPL tersebut, Bank Dunia menyebutkan perlu mengawal UUPM Nomor 25 Tahun 2007 agar dapat diterapkan dengan saksama di Indonesia.

Privatisasi BUMN yang mewabah di era reformasi menjadi contoh pula betapa “titah” IMF berpengaruh besar terhadap kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan jauh lebih kuat dari ayat-ayat dalam konstitusi yang sama sekali tidak menjadi rujukan dalam banyak LoI yang dipaksakan IMF. Dalam LoI 13 November 1998 yang berfokus pada isu rencana privatisasi, pemerintah berencana melakukan privatisasi terhadap 150 BUMN selama satu dekade ke depan. Privatisasi ini akan menyentuh semua BUMN, mulai dari sektor telekomunikasi, listrik, energi, hingga perusahaan penerbangan nasional. Pemerintah telah membuat master plan bagi proses ini dan telah mempublikasikannya. Salah satu bentuk implementasi dari rencana ini adalah dibuatnya undang-undang telekomunikasi yang meliputi aturan mengenai kompetisi bebas di sektor ini. LoI 17 Mei 2000 menyebutkan, pemerintah akan memperbarui master plan bagi program privatisasinya untuk tahun 2000-2002. Privatisasi terhadap sejumlah BUMN yang bergerak di industri-industri yang kompetitif akan dipercepat oleh pemerintah. Di samping itu, pemerintah telah mempersiapkan privatisasi PT Telkom dan Indosat dengan merasionalisasikan kepemilikan atau penguasaan aset di beberapa perusahaan telekomunikasi lainnya dan menjual saham-saham mereka yang ada di sektor-sektor yang bukan bisnis inti. Pemerintah juga akan melakukan audit khusus dengan bantuan sebuah perusahaan internasional terhadap sejumlah BUMN dalam rangka program restrukturisasi dan privatisasi ini.

Pemberian akses kepada kekayaan alam Indonesia, seperti tercermin dalam UU Migas dan UU Penanaman Modal, jelas merupakan “rasionalisasi” terhadap masuknya kepentingan asing untuk mengeksploitasi bumi, air, dan pasar Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran mereka sendiri. Mereka tidak perlu melakukan hal itu secara kasar atau brutal seperti di masa kolonial, karena memang tersedia ruang yang luas untuk melegalkan (baca: melembagakan) pengerukan untung melalui undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya, yang mereka sponsori dengan label-label semacam “reformasi birokrasi”, “perlakuan yang fair kepada seluruh pelaku usaha”, dan “iklim investasi yang terbuka”.

Namun bukan berarti cara-cara kasar dan bahkan “intimidasi” tidak pernah dilakukan. Sebuah foto yang mengusik rasa kebangsaan menyebar luas pada awal tahun 1998, ketika Michael Camdesus, Managing Director IMF, bersedekap dengan arogan di hadapan Presiden Soeharto, yang terlihat tidak berdaya, pada saat penandatanganan dokumen LoI Indonesia dengan IMF. Ketergantungan Indonesia pada dana bantuan (baca: utang) IMF bukan hanya telah menyebabkan tergadainya harga diri dan martabat bangsa ini, melainkan juga terenggutnya kedaulatan dalam pengambilan kebijakan ekonomi yang mestinya didasari nilai-nilai luhur dalam konstitusi dan amanat penderitaan rakyat.
Dalam bahasa yang hiperbolik, langkah-langkah perencanaan, penentuan, dan pendiktean kebijakan oleh aneka kekuatan asing itu bisa disebut sebagai sebuah “kudeta putih” atau “kudeta konstitusional”, sebuah pengambilalihan hak dan wewenang mengeksploitasi bumi Indonesia dan seluruh penghuninya melalui cara-cara yang “sah secara hukum”, yaitu melalui pendiktean substansi kebijakan lewat aturan-aturan berkekuatan hukum yang dibuat oleh pemerintah ataupun parlemen.

“Kudeta putih” secara legal-formal tidak menyalahi aturan dan perundang-undangan. Akan tetapi, secara substansial keabsahannya mesti digugat dan terus dipertanyakan, mengingat misi kemerdekaan bangsa ini bukanlah melempangkan “jalan kembali” atau memfasilitasi kekuatan-kekuatan asing untuk kembali menjajah negeri ini secara “konstitusional” dan “elegan”. Seperti sering diungkapkan oleh para pendiri bangsa, kemerdekaan mestinya menjadi “jembatan emas” bagi peningkatan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini sebagai tuan rumah yang berdaulat di negerinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar